UGIQ DALAM LA GALIGO

Sejak 2011 La Galigo ditetapkan sebagai Memory of The World oleh UNESCO. Ini membanggakan kita sebagai anak bangsa. Penetapan tersebut mendorong kembali La Galigo ke permukaan. Setelah arus modernisasi di berbagai lini kehidupan mencerabut La Galigo dari masyarakat pemiliknya.


Kini, La Galigo makin marak kembali diperbincangkan. Baik mereka yang pernah mendengarkan tutur langsung dari tokoh adat, membaca langsung naskahnya, menyaksikan upacara adat yang berkaitan La Galigo, atau bahkan mereka yang tidak mampu mengeja huruf lontaraq sekalipun.


Meski berkisah tentang Luwu dan Cina, La Galigo bukan milik satu suku saja. Ia tersebar dan diwariskan dari generasi ke generasi di berbagai etnis di Sulawesi. Pewarisan La Galigo pada masyarakat, baik berupa kisah tutur, tradisi lisan massureq, manuskrip, praktik upacara adat seperti mallawolo, bahkan norma hingga nilai-nilai dasar kehidupan. Tentu saja model pewarisan La Galigo pada masing-masing generasi tidak seragam. Sangat tergantung bagaimana penyikapan sebuah masyarakat terhadap La Galigo. Namun terlepas dari hal tersebut, tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading dan Wé Cudai, dikenal oleh berbagai etnis di Sulawesi. Terutama kisah pernikahan antara keduanya.


Naskah La Galigo, tersebar di masyarakat dan terkadang dipusakakan. Dahulu kala, naskah ini dibacakan pada momen sakral tertentu. Seperti acara kelahiran, pernikahan, naik rumah baru, sebelum turun sawah, dan sebagainya. Juga pada momen umum, sebagai hiburan sekaligus edukasi. Semacam kegiatan menonton sinetron seperti saat ini. Pembacaan pada momen umum ini, dilakukan saat malam. Dengan cara seorang passureq membacakan naskah La Galigo, kemudian satu orang lagi menjelaskan makna tersirat pada pendengarnya. Tradisi ini bertahan sampai tahun 1980an. Hingga akhirnya hiburan TV dan elekton menggantikan posisi pembacaan La Galigo pada masyarakat.


Naskah La Galigo dibacakan oleh passureq dengan langgam yang khas yang disebut massureq selléang. Satu naskah terdiri satu episode yang disebut tereng. Terkadang dalam satu naskah tidak terdapat tanda baca untuk menandai akhir sebuah kalimat. Bahkan sering kali tidak ditemukan spasi antarkata dan kalimat. Sehingga  bagi pembaca pemula akan sangat kesulitan.


Akan tetapi bagi passureq, ini bukan masalah yang berarti. Sebab selain telah menjadi kebiasaaan, juga pola pembacaan dibagi lima penggal frasa atau kadang juga dua penggal frasa digabung menjadi 10 suku kata  dalam setiap jeda. Hal demikian dilakukan agar saat La Galigo dinyanyikan, passureq dapat menyesuaikan dengan irama lagunya.

 


Upaya pengumpulan dan penulisan ulang naskah La Galigo diinisiasi oleh B. F. Matthes. atas bantuan Colliq Pujié bersama timnya, akhirnya naskah La Galigo yang terdiri 12 jilid ini dirampungkan. Kemudian dibawa ke Belanda dan tersimpan di perpustakaan universitas Leiden dengan  kode NBG Boeg 188.


Tentu saja sulit merangkum keseluruhan La Galigo yang berbentuk naskah. Sebab naskah NBG Boeg 188 saja, sudah dinobatkan sebagai karya sastra terpanjang di dunia. Sementara, masih ada episode La Galigo yang tidak terangkum dalam naskah NBG Boeg 188. Beberapa di antaranya adalah Musuna Karaéng Tompo, Méong Mpaloé, Taggilinna Sinapatié, dan sebagainya. Dapat dibayangkan, jika keseluruhan La Galigo yang tersebar di masyarakat, di berbagai perpustakaan baik dalam maupun luar negeri ini disatukan. Pastinya akan lebih panjang lagi.


Tokoh utama dalam La Galigo, yaitu Sawérigading, dikenal sebagai Opunna Wareq. Sementara istri sekaligus sepupu sekalinya (‘sepupu sekali’: istilah yang dikenal dalam budaya Bugis untuk sesama anak dari satu garis pertalian darah atau berasal dari orang tua yang bersaudara sekandung; anak dari dua bersaudara) yaitu We Cudai dikenal sebagai Datunna Cina. Ia mewarisi jabatan dari ayahnya La Sattumpugi Opunna Cina. Pernikahan keduanya senantiasa dikenang oleh pewaris La Galigo sebagai bagian utama dari epos ini. Pernikahan yang mengulang keagungan pernikahan Batara Guru dari Botillangi dengan Wé Nyiliq Timoq dari Uriq Liu, yang dilanjutkan dengan pernikahan Batara Lattuq dari Luwu dengan Wé Datu Sengngeng dari Tompo Tikka.


Jika membaca naskah La Galigo, memang kita tidak akan menemukan kata Bugis. Sebab kata Bugis adalah istilah yang muncul di belakang. Akan tetapi semua maklum bahwa Bugis adalah pengindonesiaan kata Ugiq.  Bila menelusuri La Galigo, akan banyak ditemukan kata Ugiq. Sebab tokoh utama Wé Cudai adalah To Ugiq. Selain itu, beberapa bagian dari epos ini berkaitan dengan tokoh dan negeri Ugiq.


Pada kesempatan ini, penulis mengangkat kata Ugiq dalam La Galigo. Lebih spesifik, berdasar naskah NBG Boeg 188. Perlu dipahami bahwa naskah La Galigo bukan hanya yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden yang diberi kode NBG 188. Tetapi masih banyak naskah La Galigo dari berbagai episode yang tersebar pada berbagai museum, kolektor, dan masyarakat. Untuk komparasi antarnaskah La Galigo NBG Boeg 188 dengan naskah La Galigo yang lain, membutuhkan penelitian khusus dari para ahli.


Kembali ke naskah NBG Boeg 188, persebaran kata Ugiq dalam berbagai variasi selain nama tokoh sepupu sekali Sawérigading yaitu Panrita Ugiq, ditemukan sebanyak 310 kali. Dari total 12 jilid, hanya pada jilid 1, 3, dan 5 saja penulis tidak menemukan kata Ugiq. Kata Ugiq dalam La Galigo ini merujuk pada beberapa hal, antara lain. Komunitas, negeri, benda, bahasa.


Lebih jauh sekaitan Ugiq dalam La Galigo ini, tidak jarang kata Ugiq dipadankan dengan kata Cina. Terdapat 142 kali kemunculan kata Ugiq yang beriringan kata Cina. Baik merujuk pada komunitas dengan komunitas, komunitas dengan negeri. Adapun persebarannya ada pada jilid 2, 8, 9, 10, 11, dan 12. Sebagai contoh kutipan dari jilid 10 yaitu: “Tallettuq lempu ri Alé Cina makkélolangeng ri tana wugi”. Artinya, kita sampai dengan selamat di pusat negeri Cina, berkelana di tanah Bugis. 


Bila di naskah NBG Boeg 188 saja, telah ditemukan ratusan persebaran kata Ugiq. Bisa dibayangkan bila naskah La Galigo lainnya juga ditelusuri. Maka akan sulit untuk mengatakan, tidak ada Ugiq dalam La Galigo. Sehingga wajar bila La Galigo menjadi akar budaya To Ugiq yang dirawat dalam ingatan kolektif, upacara adat, hingga dituliskan pada naskah.


La Galigo adalah mata air kebudayaan yang tidak habis diperbincangkan. Tulisan ini tidak cukup untuk merangkum serba-serbi La Galigo. Mengingat banyaknya hal yang berkaitan La Galigo, mulai persebaran, kedudukan pada masyarakat, fungsi sosial, bahasa, konteks dan pemaknaan, aturan dan upacara adat, kondisi naskah, transformasi pengetahuan, dan sebagainya.


Namun lebih bijak bila La Galigo dibaca kembali oleh para pewarisnya. Ketimbang menjadi bahan perdebatan belaka namun masih buta huruf aksara lontaraq. Bukankah untuk majunya sebuah bangsa, buta huruf harus diberantas?


Waktu yang baik untuk berdoa menurut orang Bugis

Berdoa pada dasarnya adalah wujud kehambaan. Hamba dengan segala kekurangannya akan meminta kepada Sang Pencipta dengan segala ketidakterbatasanNya. Bila seorang hamba tidak berdoa, maka sejatinya, sadar atau tidak, ia telah sombong. Seolah tidak lagi membutuhkan Sang Pecipta Tuhan Semesta Alam.


Sekaitan dengan doa, tetua tetua di Bugis berpesan : Arillauko ri nyamengnge. Sebuah kalimat singkat yang multi interpretasi. Makna pertama, mintalah (berdoalah) pada kenikmatan. Makna kedua, mintalah (berdoalah) untuk mendapat kenikmatan. Makna ketiga, mintalah (berdoalah) saat mendapat kenikmatan.


Jika dianalisis makna pertama, maka tentu bukan Tuhan sebagai tujuan dari doa tersebut. Sementara makna kedua, berdoa kepada Tuhan untuk mendapat kenikmatan. Ada benarnya, tetapi tidak sepenuhnya benar. Sedangkan maksud dari pappaseng diatas adalah pada makna ketiga. Yaitu berdoa kepada Tuhan saat mendapat kenikmatan.


Mereka para pemancing, bila saat menunggu umpan disambar ikan. Ia akan mudah mengingat Tuhan. Akan tetapi saat strike, ada kenikmatan tidak terkira yang dirasakan pemancing. Begitu nikmatnya sehingga lupa pada Tuhan.



Pada konteks yang berbeda. Orang yang sakit, mudah mengingat Tuhan. Akan tetapi saat sehat, seringkali melupakan Tuhan. 


Demikian pula para pencari dunia. Saat berjuang mencari dunia, banyak orang akan mudah ingat Tuhan. Namun ketika harta berlimpah ia dapatkan, maka seringkali melupakan Tuhan.


Pada saat berpuasa, lapar dan haus mampu di tahan. Tetapi saat berbuka, seringkali seseorang lupa Tuhannya. Makan dan minum seperti kesurupan seolah lupa beberapa menit sebelumnya berpuasa.


Tuhan menghadirkan surganya bagi orang yang telah menikah. Sebagai "hadiah" atas perjalanan keras yang kehidupan duniawi. Sekaligus "ujian", seberapa mampu seorang hamba mengingat Tuhannya. Inilah maksud dari leluhur orang Bugis. Arillauko ri nyamengnge. Berdoalah kepada yang memberi kenikmatan dan saat mendapat kenikmatan. Menegaskan bahwa Tuhan diatas segalanya, bahkan jika seorang hamba mendapatkan surga. 


Sekadar pendapat. Mohon jangan di kafirkan bila berbeda.

Puasa Perspektif Pappaseng Petta La Tenri Bali

Di bulan ramadhan, umat Islam di wajibkan berpuasa selama sebulan. Puasa lebih dari sekadar menahan lapar dan haus di siang hari. Tetapi lebih dari itu, juga melatih kualitas jiwa agar terbentuk akhlak pribadi yang lebih baik. 

Sekaitan nilai-nilai akhlak pribadi tersebut, menarik untuk membahas pappaseng atau pesan dari Batara Wajo pertama, Petta La Tenri Bali sebagai berikut.

Ajjaq nasalaiko nyameng kininnawa sibawa lempu. Naiya riasengnge nyameng kininnawa, ri salaiwi ri padanna tau na makurang caiq na, maega addampenna. Tennapoadang padanna tau tennaponyamengnge, tessitinajae ininnawa. Naiya riasengnge lempu, tekkacinna-cinnai, tennaeloreng majaq padanna tau, nametau ri Dewata Seuwae.

Terjemahan bebas

Janganlah engkau kehilangan nyameng kininnawa dengan lempu. Adapun yang dimaksud dengan nyameng kininnawa (adalah apabila) dipersalahkan (oleh) sesamanya manusia, (maka) kurang amarahnya. luas permaafannya. Tidak mengatakan kepada sesamanya manusia (sesuatu) yang tidak disenangi/tidak berkenan, (yaitu) yang tidak sepantasnya menurut pertimbangan. Adapun yang dimaksud lempu adalah, tidak gampang menginginkan sesuatu, tidak menghendaki keburukan kepada sesamanya manusia, dan takut pada Tuhan yang Maha Esa.



Ada dua poin utama dalam kutipan pappaseng diatas. Yaitu nyameng kininnawa dan lempu. Untuk itu kita mengurai satu persatu.

Nyameng kininnawa

> Bila dipersalahkan (maka) > Kurang amarahnya/mampu mengontrol dirinya. (efeknya adalah) 

  • perbuatan > tidak mendendam, tidak membalas, memaafkan
  • perkataan > berkata sepantasnya sesuai pertimbangan > sehingga bila marah, memilih diam sampai marahnya reda barulah dapat berkata yang pantas.
Nyameng Kininnawa lebih mengarah pada kondisi mental, yaitu pikiran dan perasaan seseorang agar lebih terkontrol ketika berada pada situasi yang tidak menguntungkan. Yaitu dipersalahkan. Tentu jika dipersalahkan adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Disini Nyameng kininnawa hadir sebagai konsep orang Bugis untuk tetap stabil dan menjaga harmoni.

Ketika seseorang kehilangan Nyameng kininnawa nya, maka ia akan mudah marah. Saat marah, kadang kata kata yang diucapkan tidak terkontrol sehingga membawa penyelesalan. Oleh karena itu, orang Bugis memilih diam saat marah sambil berusaha mengendalikan dirinya. Diam juga sebagai penanda bagi orang lain bahwa yang bersangkutan sedang marah.

Amarah yang dituruti, bukan hanya membuat kata-kata menjadi tidak terkontrol. Tetapi juga mempengaruhi sikap dan tindakan yang menyakiti sesama. Untuk mencegah hal tersebut, maka kebesaran hati untuk memaafkan adalah cara terbaik.

Lempu

  • > Tekkacinna-cinnai > tidak mudah menginginkan > mengendalikan hasrat dan keinginan
  • > Tennaeloreng majaq padanna tau > tidak menghendaki keburukan pada sesamanya manusia 
  • > Nametau ri Dewata Seuwae > takut kepada Tuhan yang Maha Esa.

Tekkacinna-cinna berasal dari kata dasar cinna yang berarti hasrat/keinginan. Makna cinna bersifat netral. Namun ketika mendapat imbuhan KA diiringi pengulangan menjadi Kacinna-cinna, maka maknanya menjadi negatif. Bisa dibandingkan dengan kosa kata bahasa Bugis lain. Seperti Illau (minta) menjadi Kailla-illau. Ita (melihat) menjadi Kaita-ita. Inreng (pinjam) menjadi Kainreng-inreng. Jokka (pergi) menjadi Kajokka-jokka. Inga (dengar) menjadi Kainga-inga

Imbuhan "Teq" yang merupakan penyingkatan dari Teya (tidak) merupakan penegasian. Tekkacinna-cinna berarti menegasikan atau ketiadaan keinginan yang berlebihan. Misalnya, jika seseorang macinna (menginginkan) pada harta, itu masih wajar. Tetapi kalau kacinna-cinna, berarti seseorang kurang atau tidak bersyukur dengan harta yang ia miliki dan masih menginginkan harta milik orang lain. Disinilah salah satu awal keburukan pada sesama.

Untuk mendapatkan harta milik orang lain, seseorang bisa saja kailla-illau (suka minta-minta), kainreng-inreng (suka pinjam pinjam), bahkan kalasi (licik). Bila masih kurang maka maggauq bawang (berlaku sewenang-wenang merampas barang orang lain) 

Oleh karena itu, setelah kata Teqkacinna-cinna dilanjutkan dengan kata Tennaeloreng majaq padanna tau. Orang yang malempu (lurus) selain dia tidak gampang menginginkan sesuatu, ia juga tidak menginginkan keburukan kepada orang lain.

Kemudian dikunci dengan kalimat : "Nametau ri Dewata Seuwae". Sebagai landasan sekaligus tujuan dari Lempu itu sendiri. Jadi adanya kebaikan individu terhadap orang lain, bukan unsur pragmatisme, yaitu mengharap kebaikan serupa. Akan tetapi sebagai wujud kehambaan manusia. Ini menunjukkan bahwa orang Bugis dahulu telah menganut monoteisme sebelum menerima Islam.

Dengan berpuasa, kita belajar menahan keinginan, nafsu dan amarah. Sehingga pada titik tertentu (semoga) kita mampu mengontrolnya. Sehingga dengan berpuasa kita dapat mencapai kualitas jiwa nyameng kininnawa. Puasa melatih empati kita pada sesama, melalui hal yang paling sederhana, mendasar dan universal. Yaitu lapar dan haus. Puasa melatih kejujuran (alempurengta) kita. Yaitu ketika makanan dan minuman serta kesempatan tersedia, namun belum berbuka puasa. Di saat itu, hanya individu dan Tuhannya. Inilah makna lempu yang sesungguhnya. Yaitu bahkan ketika tidak ada orang lain yang menyaksikan perbuatan kita, namun sadar bahwa Allah Swt Maha Melihat yang selaras maknanya dengan Nametau ri Dewata Seuwae

Selamat menunaikan ibadah puasa. Kualitas puasa dalam sebulan ini akan teruji 11 bulan setelahnya. Semoga dengan berpuasa kita dapat meningkatkan kualitas jiwa menjadi lebih baik.

Wallahu a'lam bishsowab




Dialog Petta Ponggawae dan James Brooke

 James Brooke, adalah petualang Inggris. Ia meninggalkan Singapura menuju Sulawesi. Pada tanggal 20 Januari 1840, ia bertemu dengan Petta Ponggawae di Bone. Setelah bertemu langsung, ia menyampaikan penghormatannya sebab telah diberi kesempatan. Ia juga menjelaskan bahwa ia tidak terhubung dengan pemerintahan apapun. Ia mempertegas posisinya sebagai petualang yang semata-mata hanya ingin melihat sesuatu yang menarik.

Petta Ponggawa bertanya tentang apa yang mendorong James Brooke sehingga tertarik datang. James menjelaskan betapa sulitnya menggambarkan orang orang Inggris suka mendatangi tempat asing seperti dirinya kepada Petta Ponggawae.

Petta Ponggawae bertanya lagi : "Apakah engkau menerima upah?"

James Brooke : "Tidak"

Petta Ponggawae : "Apakah engkau berdagang?"

James Brooke : "Tidak"

Petta Ponggawae : "Saat di Inggris, engkau tidak berdagang?"

James Brooke : "Tidak"

Petta Ponggawae : "Jadi bagaimana caramu hidup?"

James Brooke : "Saya punya harta benda"

Petta Ponggawae : "Berarti engkau punya hubungan dengan Ratu (Inggris)"

James Brooke : "Saya tidak memiliki kehormatan itu"

Petta Ponggawae : "Yang mana lebih kuat, Inggris atau Belanda?"

James Brooke : "Tentu Inggris"

Petta Ponggawae : "Apakah mereka (Inggris dan Belanda) bersahabat?"

James Brooke : "Iya"

Petta Ponggawae : "Apakah Rusia negara yang sangat kuat?"

James Brooke : "Iya"

Petta Ponggawae : "Apakah sekuat Inggris?"

James Brooke : "Rusia adalah negara yang sangat kuat. Tetapi dalam pandangan saya, Inggris dan Prancis adalah dua negara terkuat"

Petta Ponggawae : "Apa yang terjadi pada (Napoleon) Bonaparte setelah Inggris memenjarakannya?"

James Brooke : "Dia (Napoleon Bonaparte) meninggal di St Helena. Dia adalah pria dengan kemampuan dan kekuatan yang luar biasa. Tetapi ambisi besarnya telah menghancurkannya."

Petta Ponggawae : "Bagaimana bisa Inggris menyerahkan kembali Jawa dan negeri lain kepada Belanda setelah menguasainya ?"

James Brooke : "Inggris mengambil Jawa dan negeri lain dari Prancis. Setelah perdamaian di Eropa maka dikembalikan kepada Belanda". 

Petta Ponggawae : "Apakah Belanda tidak membayar upeti (kepada Inggris) untuk hal tersebut?"

James Brooke : "Tidak"



Penggambaran fisik Petta Ponggawae oleh Brooke, bertubuh agak pendek, kekar, berkulit gelap, ekspresi datar dan saat itu berusia sekitar 45 tahun.

Hal yang menarik dari dialog ini adalah pengetahuan tentang Rusia dan Napoleon yang didiskusikan oleh Petta Ponggawae. Mengingat di masa itu, akses informasi masih sangat terbatas.'


Sumber : Narrative of Events : Celebes and Borneo

Memahami Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng

Perbedaan Pada Lontaraq dan Pappaseng sebagai Kekayaan Budaya
Sebelumnya perlu dipertegas bahwa saya bukan budayawan apalagi pallontara. Hanya pemerhati budaya yang beruntung sempat membaca beberapa naskah. Namun jauh masih banyak naskah yang belum sempat terbaca.
Saya tertarik sekaitan kearifan lokal leluhur dalam memaknai tanda tanda alam. Oleh karena itu lontara pananrang adalah favorit selama beberapa tahun belakangan ini. Apalagi hobi mancing baik di laut atau di empang "mewajibkan" pembelajaran tambahan tentang musim, cuaca dan geografis.
Suatu ketika saya diperlihatkan lontara pananrang di Maiwa Enrekang. Saat itu saya berada di Maiwa, dan saya perhatikan kejadian alam saat itu, sesuai yang tertulis di lontara. Namun pada hari yang sama, kejadian alam berbeda di tempat lain.



Gambar Ilustrasi Lontaraq TassipariamaE

Dari titik ini dapat dipahami bahwa, penulis lontara di masa lalu menulis berdasarkan pengalaman di daerahnya. Bukan daerah lain. Sementara, iklim pegunungan tentu berbeda dengan iklim pantai dan iklim dataran rendah.
Kesimpulan sementara saya adalah, penulis lontara pananrang melakukan "riset"kecil kecilan sebelum menulis lontaranya. Yaitu mencari trend dengan cara mengambil sampel selama beberapa tahun. Misalnya 1 ompona uleng (kemunculan bulan) tahun pertama = hujan, tahun kedua di tanggal sama hujan. Tahun ketiga gerimis. Tahun keempat hujan. Tahun kelima juga hujan. Dari 5 tahun sampel dari tanggal yang sama, misalnya 1 ompona uleng. Didapatkan trend 4 kali hujan dan 1 kali gerimis. Akhirnya ditulis di lontara pananrang. 1 ompona uleng : "bosi" (hujan). Kadang ditambahkan kalimat, narekko mappadai purallaloe (jika seperti sebelumnya). Jadi lebih kepada propabilitas dibanding memastikan.
Begitu pula soal kutika. Yaitu penentuan waktu waktu yang dianggap ideal melakukan sesuatu berdasar hitungan tertentu. Baik kelipatan empat, lima, tujuh, delapan, sepuluh atau yang lain. Tentu penulis memiliki landasan pengetahuan berdasar pengalaman dan kewilayahannya dalam menulis. Sehingga boleh jadi, secara umum antar kutika terdapat kesamaan. Tetapi secara khusus, terdapat perbedaan. 
Hal yang sama terdapat dalam dunia parewa bessi. Baik lontaraq maupun tutur tentang budaya parewa bessi ini ditemukan keragaman. Bahkan tidak jarang keragaman itu memiliki pendapat yang saling menegasi. Sebagai contoh : pemali wanua disambung dengan kayu lain. Artinya antara wanua dengan jonga jonga adalah satu kayu utuh. Sementara ada yang tidak mempemalikan hal tersebut. Ada yang mempemalikan pangulu tanru (gagang tanduk). Ada juga tidak. Masih banyak contoh contoh yang bisa kita lihat sebagai pertentangan.
Namun terlepas dari itu, yang penting adalah tentu orang orang tua dulu mewariskan pengetahuan berdasar pengalaman daerahnya kepada anak cucunya. Sehingga, dalam menghadapi perbedaan tersebut, yang penting adalah mencari pendapat yang berlaku didaerah atau keluarga masing masing.
Misalnya La Marupe dari daerah X yang mempemalikan pangulu tanru dan wanua sambung jonga jonga, maka kurang bijak bagi La Marupe memaksakan pendapat pada La Baco pada daerah Y yang juga punya kearifan lokal. Sekaitan perbedaan pendapat ini, contoh lain disampaikan guru kami. Misalnya La Marupe merendam dengan air kelapa bilah pusaka yang karatnya berat. Sementara, La Baco mempemalikan perendaman bilah pusaka dengan air kelapa. La Marupe mendapatkan teknik ini dari leluhurnya, yang boleh jadi waktu perendamannya tidak terlalu lama. Atau selama perendaman, selalu di periksa kondisi karat. Sehingga merendam bilah pusaka di air kelapa bisa membersihkan karat tetapi tidak sampai merusak pamor dan baja karena waktu perendaman tidak terlalu lama.
Sementara leluhur La Baco boleh jadi saat merendam bilah pusakanya dengan air kelapa terlalu lama. Sehingga reaksi kimiawi bukan hanya menghilangkan karat, tetapi juga merusak baja dan pamor pusaka. Dengan demikian wajar bila dipemalikan. Agar tidak terulang kesalahan yang sama.
Semakin general sebuah pengetahuan, maka semakin banyak kesamaan. Semakin detail, spesifik sebuah pengetahuan, maka akan terdapat semakin banyak perbedaan. Ilmu pananrang, kutika dan sissiqna gajangnge misalnya, akan seperti itu. Berbicara pada konteks umum, maka akan banyak kesamaan. Sedang semakin detail dan spesifik sesuatu itu dibanding sejenisnya, maka akan semakin banyak perbedaan. 
Tentu bukan tugas kita untuk menghakimi benar dan salah. Apalagi jika tidak memiliki kualifikasi keilmuan yang mumpuni untuk menilai. Langkah bijak apabila, mengenali dan mempelajari kearifan lokal masing masing. Kemudian menghargai kearifan lokal lain yang berbeda. Sesungguhnya perbedaan adalah identitas agar bisa saling mengenali keragaman yang ada.

Konteks Kekinian
Dapat dipahami bahwa lontaraq pananrang dibuat berdasarkan pengalaman empiris kondisi alam. Di masa lalu, kondisi alam relatif terjaga. Sehingga siklus alam lebih teratur. Dengan demikian, akan lebih mudah memprediksi kejadian kejadian alam yang akan terjadi.
Akan tetapi di masa kini, telah banyak perubahan dari alam kita. Pemanasan global, naiknya permukaan air laut, penggundulan hutan dan sebagainya. Akibatnya, siklus alam menjadi lebih "sulit ditebak". Sebagaimana diskusi dengan seorang nelayan yang curhat mengatakan : "Nappanna ndi uwita siruntu bosinna bare'e na timo'e". (Seumur hidup barusannya saya dapat dik bertemu hujannya bare dan timo). Sebuah kalimat yang menyiratkan perubahan alam yang membuatnya keliru ditebak. Bahkan ditempat lain beberapa orang mulai mengatakan, lontara pananrangnya sudah keliru dikarenakan tidak sesuai yang tertulis dan kejadian.
Pada beberapa hal, pengetahuan leluhur perlu direvisi karena perkembangan zaman yang boleh jadi tidak sempat diantisipasi para leluhur. Namun dalam beberapa hal, masih relevan di aplikasikan, bahkan di tempat lain. Sisi kemanusiaan kita tidak meniscayakan kemutlakan ada pada manusia. Tetapi manusia berikhtiar dan terus berikhtiar mencari kebenaran tanpa harus sibuk menyalahkan sesamanya manusia.

Tantangan dan Hambatan dalam Kerja Kerja Penyelamatan Budaya

Di era teknologi informasi dewasa ini, wacana lokalitas kebudayaan menjadi semakin penting. Kebutuhan akan adanya identitas dalam interaksi global yang menjadi spirit dan karakter, dalam pengakuan eksistensi. Pada gilirannya menjadi modal sosial sebuah komunitas pada skala kecil dan bahkan bangsa pada skala yang lebih besar.
Penetrasi kebudayaan asing yang massif menggelitik pemerhati budaya agar bisa menyelamatkan budayanya. Tentu bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk komunitas, bangsa dan generasi yang akan datang.
Kebudayaan asing ini membawa beberapa hal sekaligus. Membawa nilai nilai positif yang bisa kita serap. Juga membawa nilai yang sebaliknya. Membawa hegemoni yang bisa jadi kedepan berujung dominasi baik secara politik maupun ekonomi.
Generasi muda yang menyadari kondisi yang rumit ini tertantang untuk bekerja untuk menyelamatkan budayanya. Bekerja dalam arti non profit, lebih pada inisiasi sesuai keterbatasan kemampuannya.
Disisi lain, budaya sifatnya dinamis. Meski ada yang paten, tentu ada yang perlu diubah, atau bahkan dihilangkan. Kalau perlu mengawinkan hal hal positif dari luar agar kebudayaan kita tidak jumud.

Berikut ini beberapa tantangan dan hambatan dalam kerja kerja penyelamatan budaya lokal

1. Informan
Seiring waktu, sangat disayangkan dengan meninggalnya beberapa informan dalam beberapa tahun terakhir. Lebih disayangkan lagi bila tidak sempat diwawancarai dan didokumentasikan pengetahuannya.
Sebagian informan yang tersisa, terkendala dengan fisik. Misalnya sakit sakitan, atau mulai pelupa. Kalaupun masih bisa berbagi pengetahuan, terkadang kendala bahasa menjadikan sulit proses transformasi pengetahuan.

2. Literatur dan artefak
Naskah lontara sebagai literatur klasik sangat sulit dijumpai dalam keadaan utuh saat ini. Banyak naskah lontara yang rusak, ikut terbakar, turun menjadi korban dalam situasi kacau Sulawesi Selatan tahun 1950an. Kalaupun ada naskah lontara tersisa, kondisinya sangat sulit terbaca. Mengingat kertasnya sudah rusak, robek atau termakan tinta.
Beruntung beberapa naskah lontara masih tersimpan di perpustakaan dalam dan luar negeri. Juga mikrofilmnya. Sehingga tantangan kedepan agar bisa ditulis ulang pada media yang lain, dilengkapi translasi dan terjemah untuk memudahkan pemahaman pada pembaca.
Artefak yang biasanya pusaka juga banyak yang rusak, ditanam, dibuang, dijual dan sebagainya. Sehingga sulit menemukan saat ini dalam kondisi original dan berada pemilik yang resmi. Kita biasanya hanya mendapatkan cerita bahwa dulu ada benda seperti ini itu dan sudah tidak ada lagi.

Contoh Naskah klasik beraksara Hijaiyah/Serang


3. Sakralisasi berlebih
Sakralisasi berlebih pada literatur dan artefak menyebabkan sulitnya diakses. Sebagai contoh, sebuah naskah lontara tidak boleh dibuka sembarang waktu. Itupun harus dipotongkan kerbau atau kambing. Saking berlebihannya penyakralan pada lontara tersebut sehingga lebih dipilih membiarkan lontara rusak hancur dimakan rayap daripada dipindahkan isinya ke media lain atau ditransformasikan pengetahuan yang ada didalamnya.
Memang di satu sisi, sakralisasi ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab menjadi pelajaran etika atau adab dalam mendapatkan pengetahuan. Tetapi, konteks zaman sudah berubah sehingga perlu di pikirkan kembali cara mendapatkan pengetahuan dari naskah lontara misalnya, dengan tetap menghormati nilai nilai yang ada, tanpa harus menyembelih kerbau.

4. Pola pikir dan perspektif masyarakat
Di era era awal maraknya diskusi kebudayaan di sosmed, ada kecenderungan seperti reduksi makna budaya dan budayawan. Bahwa yang mampu membaca lontara, menghapal silsilah, serta bertutur kisah masa lalu adalah budayawan. Sementara sejarah dan budaya tentu dua hal yang berbeda meski ada keterkaitan.
Akibatnya, budaya menjadi wacana elitis bangsawan. Seolah tata cara bertani, perbintangan, assikalabineng, dan sebagainya bukan bagian dari budaya. Dan juga sebaliknya, jika seseorang sudah bisa bahas silsilah, maka dianggap tahu segalanya.
Dengan elitisasi wacana kebudayaan, menjadikannya seperti momok bagi orang awam. Melahirkan apatisme terhadap penyelamatan budaya.

5. Ego sempit kedaerahan
Budaya kita sangat kaya dan beragam. Sehingga pada beberapa hal terjadi peririsan dengan budaya lain, atau pada budaya yang sama tetapi daerah yang berbeda. Hal ini kadang menimbulkan perdebatan perdebatan yang berbau arogan.
Sebenarnya, jika semua berkepala dingin, hal seperti itu mudah saja dituntaskan. Dengan saling memahami, saling menerima, saling mendorong dan saling mendukung. Maka kerja kerja penyelamatan budaya bisa saling menguatkan. Bukan saling melemahkan satu sama lain.
Ironisnya, ada pesan pesan leluhur tentang hal ini. Namun perlu lebih disosialisasikan dan diinternalisasikan.

Penting re-orientasi kerja kebudayaan
Dalam kerja kerja penyelamatan budaya, akan terpulang pada subyeknya masing masing. Mulai dari niat, target dan tujuan serta metode yang digunakan.
Pada tataran niat, menundukkan ego pribadi, ego daerah dan meleburkan pada ego yang lebih tinggi. Bahwa subyek hanyalah setitik debu kehidupan yang mencoba memaknai hidupnya dengan melakukan kerja kerja kebudayaan. Ego individu adalah penghambat keikhlasan. Tanpa keikhlasan, sulit mendapatkan keberkahan. Dan tanpa keberkahan, sulit mendapatkan kebaikan. Itulah sebab mengapa ego harus dileburkan pada ego yang lebih tinggi.

Kronologi Musu Selleng Berdasar Lontara Sukkuna Wajo

KRONOLOGI MUSU SELLENG BERDASAR LONTARA SUKKUNA WAJO

Setidaknya, Islam telah dikenal di Sulawesi Selatan sekitar abad 15-16 M. Atau bahkan jauh sebelumnya. Telah ada muslim Bugis dan Makassar yang tercatat sebelum Musu Selleng atau Bundu Kasallanga. Namun di kerajaan-kerajaan Bugis, Islam belum menjadi agama resmi. Sementara Kerajaan Luwu dan Makassar telah terlebih dulu menerima Islam sebagai agama resmi sejak kedatangan tiga Datuk. Yaitu Datuk Sulaeman, Datuk ri Bandang, dan Datuk ri Tiro.


Adalah hal rumit mendorong Kerajaan-kerajaan Bugis untuk menerima Islam sebagai agama resmi. Selain karena adanya kepercayaan lokal Dewata SeuwaE, juga faktor politik antara Gowa, Luwu, dan kerajaan Bugis di sepanjang 1500-an masehi. Terutama invasi Gowa di era Karaeng Tunipallanga Ulaweng yang banyak merebut wilayah dataran tengah Sulawesi Selatan. Sehingga mendorong respon munculnya berbagai aliansi seperti TellumpoccoE, LimaE Ajatappareng, dan mungkin juga termasuk Massenrempulu, Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babanna Binanga di wilayah Mandar.

baca : 

Disisi lain, telah ada beberapa perjanjian damai, misalnya antara Gowa dan Bone. antara Gowa dan Soppeng, antara Gowa dan Wajo, serta berbagai perjanjian lain. Terutama perjanjian untuk saling menyampaikan kebaikan satu sama lain. Sehingga saat Gowa hendak menyampaikan Islam secara damai kepada kerajaan Bugis, ditanggapi sebagai sebuah bagian manuver politik yang dapat memengaruhi stabilitas politik di saat itu. Sehingga sesuai adat kebiasaan orang orang dulu, maka perang pun tidak bisa dihindari, 

Musu Selleng, adalah Perang yang terdiri dari rangkaian pertempuran antara pihak Gowa dan kerajaan Bugis. Perang ini terdiri dari 7 (tujuh) rangkaian pertempuan yang kemenangan dicapai kedua belah pihak. Pertempuran awal dimenangi Kerajaan Bugis. Namun konsistensi Gowa serta loncatan keberpihakan beberapa kerajaan kerajaan Bugis pada pihak Gowa mendorong kemenangan Gowa pada proses pertempuran berikutnya hingga terakhir. 

Musu Selleng (Bhs Bugis) atau Bundu' Kasallanga (Bhs Makassar), tercatat di lontara kronik berbagai kerajaan. Salah satunya di Lontara Sukkuna Wajo yang menjadi referensi penulisan ini.

------------------------------------------------------------------------------------

Tiga tahun setelah Gowa memeluk Islam (sekitar 1608), dikirim utusan menemui Arumpone dengan membawa sejumlah harta. Utusan berkata : "Iyamai nasuroangnga siajimmu Karaengnge makkedae laoko ri siajikku Arumpone naengerangiwi uluadatta ri coppo'na ri meru. Nigi nigi mita laleng madeceng iyani sijellokeng. Nae mitanaq laleng, madeceng ni siajikku nabalingnga'sahada'. Takkasiwiyangengngi Dewatae. Nenniya kasiwiyangta sempajang puasa".
Terjemahan bebas :
Adapun yang disuruhkan sanakmu Karaeng kepada saya adalah pergilah kepada sanakku Arumpone (untuk) mengingat perjanjian di Coppo Meru. Barang siapa melihat jalan kebaikan maka hendaknya menunjukkan. Sedangkan saya (Karaeng) telah melihat jalan (menemukan Islam), baiklah kiranya sanakku (Arumpone) turut bersyahadat, bersama menyembah Dewata. Melalui shalat dan puasa





Arumpone (We Tenripuppu) menjawab : "Upakeru'sumange'i warangmparangna siajikku silaong ada madecenna. Nenniya ri makkedanna siajikku mitaana laleng, taroa'lao mitai, kuperanggi tedong seratu dewatae mappassumpajangnge mappappuasae. Nasuro pa sia'massumbajang kuwae sumbajang. Nasuropa siya mappuasa kuwa puasa."
Terjemahan bebas :
Terimakasih atas harta dan kata kata baik sanakku. Adapun setelah sanakku telah melihat jalan (Islam), biarlah saya menemukannya juga. Kuberikan 100 kerbau kepada Dewata yang memerintahkan shalat dan puasa. (Dewata) menyuruhku shalat, saya akan shalat. menyuruhku berpuasa, saya akan puasa.

Empat tahun setelah Gowa memeluk Islam (sekitar 1609), datang utusan Karaeng Gowa menemui Datu Soppeng BeoE. Datu Soppeng membalas utusan Gowa dengan mengirimkan Loli dan Tike' dan berkata: "Nalao na ri iya siajikku ri paccella'na  nyawaE".
Terjemahan bebas : Walaupun sanakku Karaengnge yang datang kita terpaksa menumpahkan darah.

Loli adalah benang yang dipintal siap ditenun. Tike' adalah alat tenun. Adalah simbol penolakan pada ajakan dimasa lalu. Mungkin maksudnya adalah berusahalah dulu (sebagaimana menenun rangkaian benang menjadi kain) baru kami ikuti kehendakmu.

Karaeng ri Gowa menjawab : "Utarimanitu, nae uwellaui nabalikka massahada siajikku"
Terjemahan bebas :
Saya menerima kehendak sanakku. Adapun yang saya minta hanya menemani bersyahadat.

Sebulan setelah utusan Soppeng membawa pesan Datu Soppeng beserta loli dan tike', maka meletuslah Musu Selleng

Mendarat Karaeng ri Gowa bersama pasukannya di Sawitto. Sehingga tempat itu dinamai Minanga Karaeng. Pasukan TellumpoccoE menghadang di Pakkiya. Tiga hari tiga malam bertempur, pasukan Makassar terdesak. Bahkan Karaeng hampir gugur kemudian mundur bersama pasukannya. Pertempuran pertama dimenangkan oleh TellumpoccoE.

Tiga bulan kemudian, datang Karaeng ri Gowa bersama pasukannya mendarat di wilayah Wajo yaitu Akkotengeng, Padaelo dan Maroanging. Tiga malam di Akkotengeng, datang menemui Karaeng orang Akkotengeng dan orang Keera menyatakan berpihak pada Gowa.

Mengetahui sikap Akkotengeng dan Keera, Arung Matoa mengirim utusan menemui mereka dan menyampaikan pesan. : Amaseangngi Wajo, mualai cedde temmaegana Wajo. Muengngerangngi ada tasikadong ngie nasabbi DewataE padaengngi maja pada madeceng.
Terjemahan bebas :
Kasihanilah Wajo, ambillah barang sedikit tidak banyaknya Wajo. Engkau ingatlah perjanjian kita yang dipersaksikan Dewata saling memberitahukan keburukan bersama dalam kebaikan.

Orang Keera dan Akkotengeng menjawab utusan Wajo : "Upakuru sumange'i waramparanna Wajo silaong ada madecenna. Uwengngerang tekkalupai ada uwassikadongngie. Nae naelorenna DewataE massarang, naengkana laleng napaitaiyang. Napaitaiyyatono muteya mitai, aga na iyya na molai.
Terjemahan bebas :
Terimakasih atas harta dan kata kata baiknya. Kuingat dan tidak melupakan perjanjian. Namun Dewata telah menghendaki berpisah (dengan Wajo), dan telah ada jalan yang ditunjukkan. Telah ditunjukkan kepadamu namun engkau tidak mau melihatnya, maka saya lah yang menjalani.

Lima malam setelah utusan Wajo dari Akkotengeng, maka Sakkoli pun ikut berpihak ke Gowa bersama Akkotengeng dan Keera. Arung Matoa pun mengirim utusan ke Sakkoli untuk mengingatkan perjanjiannya dengan Wajo. Namun Arung Sakkoli menjawab bahwa rakyatnya telah terlanjur menemukan jalan yang terang dan ia hanya mengikuti keinginan rakyatnya.

Satu malam setelah utusan Wajo dari Sakkoli, pasukan TellumpoccoE kemudian mengepung posisi Karaeng ri Gowa bersama pasukannya. Diserang dari pinggir pegunungan Sakkoli. Pertempuran kedua ini pasukan Makassar kembali terdesak. Bahkan hampir saja Karaeng ditangkap pasukan TellumpoccoE. Pada kondisi yang kritis, tiba - tiba Gilireng menyeberang ke pihak Gowa, mengikuti Keera dan Akkotengeng dan segera menyelamatkan Karaeng. Bersama sisa pasukannya, Karaeng ri Gowa mundur kembali ke negerinya. Pertempuran kedua di Sakkoli ini kembali dimenangkan pasukan TellumpoccoE.

Enam bulan kemudian, Karaeng ri Gowa bersama pasukannya mendarat di Padang padang (nama kuno Pare-pare). Pasukan TellumpoccoE menghadang di Bulu SitoppoE. Pertempuran kali ini, pasukan TellumpoccoE terdesak. Bahkan Arungnge to Jawa dari Soppeng gugur. Kemudian bergerak mundur ke lalempulu sebelah barat Paella. Pertempuran ketiga ini dimenangkan pasukan Gowa dan sekutunya.

Penyebab terdesaknya TellumpoccoE karena Rappeng, Bulu Cenrana, Otting dan Maiwa menjadi musuh bagi TellumpoccoE. Dengan posisi yang menguntungkan ini, Karaeng ri Gowa bergerak maju dan membangun benteng pertahanan di Rappeng. Setelahnya, ia kembali ke negerinya.

Saat itu Rappeng masih palilinya Wajo, sebulan setelah kembalinya Karaeng, maka Rappeng dikepung TellumpoccoE. Namun perlawanan alot dilakukan Rappeng hingga adik Tau tongeng dari Soppeng gugur dalam pertempuran. Pada pertempuran keempat ini berakhir tanpa ada kemenangan. Inilah awal berpisahnya Rappeng dari Wajo.

Tidak lama setelah pengepungan Rappeng yang gagal, Addatuang Sidenreng La Patiroi memeluk Islam ditahun 1018 Hijriyah. Semalam setelah bersyahadatnya Sidenreng, kemudian diikuti Awaniyo.

Dua belas malam kemudian, orang Belawa ke Rappeng bersyahadat didepan Karaeng ri Gowa dan masuk Islam.

Tidak cukup dua bulan, Karaeng ri Gowa dan pasukannya mendarat di Tanete bersiap menyerang Soppeng. Orang Wajo tidak ke Bone (untuk bersama) menemani Soppeng berperang. Sementara Lamuru dan Mario riaja telah bersyahadat. Kemudian Arung Pattojo menyeberang ke pihak Gowa dan bersyahadat. Soppeng kewalahan. Utusan Soppeng, To Peo dan To Palajuka menyerah pada Karaeng di Lakkoko kemudian membuat kesepakatan. Maka masuklah Karaeng ri Gowa di Soppeng dan bersyahadatlah Datu Soppeng, BeoE tahun 1018 Hijriyah bersama segenap palilinya. Tidak tercatat dengan pasti apakah ada atau tidak ada  pertempuran pada saat tersebut.

Satu tahun kemudian, Wajo dikepung pasukan koalisi Makassar, Soppeng dan Ajatappareng. Sepuluh hari bertempur, Pompanua direbut pasukan Soppeng. Adapun Tempe, Singkang, Tampangeng dan Totinco sebagian, telah direbut pasukan Ajatappareng. Pertempuran kelima ini dimenangkan pasukan koalisi Makassar, Soppeng dan Ajatappareng.

Terdesak dengan serangan Soppeng dan Ajatappareng, sepertinya terjadi gencatan senjata. Wajo mengirim utusan meminta pertimbangan Makassar melalui Karaeng Barombong. Karaeng Barombong berkata : "Lima mpenniki mappesau to Wajo, Ala'kugi tanniya laleng malempu napitaiko muteya".  
Terjemahan bebas : Lima malam kita beristirahat orang Wajo. Bukankah jalan kebaikan yang ditunjukkan sanakmu (Karaeng ri Gowa) tetapi kamu menolak ?

Karaeng ri Gowa berkedudukan di Cenrana. Sementara Karaeng Barombong dari arah barat bersama pasukan Ajatappareng dan Soppeng.

Satu malam setelah utusan Wajo bertemu Karaeng Barombong, Arung Matoa mengirim utusan kepada Karaeng ri Gowa di Cenrana. Berkata utusan Wajo kepada Karaeng. "Nauttamana mai Karaengnge ri anakna, narekko tennareddu'mui weseku. tennatimpa' sarewoku, tennasesse' balawo  ri tampukku"
Terjemahan bebas :
Masuklah Karaeng kepada anaknya, apabila tidak mencerabut padiku, tidak membuka aibku, tidak membedah kandungan tikusku. Mungkin maksud (Tennasesse' balawo ri tampukku = tidak membedah tikus di kandunganku) adalah tidak menghalangi memakan makanan. Tikus adalah pemakan padi. Balawo ri tampukku mungkin adalah kebutuhan untuk hidup untuk memakan makanan.

Karaeng ri Gowa menjawab : "Angkanna muewai sisadakkeng, anummu maneng. ellautopo kuwerekko".
Terjemahan bebas :
Hingga yang engkau temani bersyahadat adalah milikmu semua, mintalah akan kuberikan.
Kemudian perahu Karaeng bergerak naik menuju Topaceddo.

Keesokkan harinya datang Wajo bersama palilinya bertemu Karaeng di Topaceddo. Arung Matoa berkata pada Karaeng sebagaimana yang dikatakan utusannya. Karaeng menjawab : "Utarimanitu to Wajo. Pekkulle ulleiwi sahada'e, massumpajangnge, mappuasae. Kuwerengko anre apikku, kuwerengtokko angkanna muwewae sisadakkeng."
Terjemahan bebas :
Kuterima permintaanmu orang Wajo. berusahalah mengucapkan syahadat, shalat, berpuasa. Kuberikan juga taklukanku. Kuberikan pula hingga (negeri) yang menemanimu bersyahadat.

Arung Matoa menjawab : "Taroni kupakkulleullei Karaeng, angkanna naelorengnge DewataE. Naekiya narekko laoko ri musu, mallaleng muwa'. Naiya pura na bere' ri lempaku, reweqna ri wanuakku.
Terjemahan Bebas :
Biarlah saya usahakan Karaeng, hingga yang dikehendaki Dewata. Namun apabila engkau pergi berperang, saya akan berjalan. Adapun bila beras di pikulanku telah habis maka saya akan kembali ke negeriku.


Karaeng menjawab : "Kutarima ritu adammu To Wajo, amaseangnga' siya mupejereki agamamu, tassiajing lino lettu ahera"
Terjemahan bebas :
Kuterima permintaanmu orang Wajo. Kasihanilah saya, taatilah agamamu kita bersaudara dunia hingga akhirat.

Arung Matoa mengangguk setuju dan berkata : "Taroni upejerekki agamae naiya nasabbi Dewata SeuwaE appadaoroanengetta enrengnge assiajingenna tanae ri Wajo na Gowa. Iyapa tassarang Karaeng, DewataE pi passarangngi."
Terjemahan Bebas :
Saya akan taat pada agama dipersaksikan Tuhan yang Esa ikatan persaudaraan kita demikian pula persaudaraan antar negeri Wajo dan Gowa. Nantilah kita berpisah apabila Dewata yang memisahkan kita.
Keduanya setuju, kemudian Karaeng ri Gowa memberikan pada Arung Matoa, Petta Ennengnge, Arung Mabbicarae, Bate Caddie, apa yang selayaknya diberikan. Diberikan pula perkara syariat dan fikih shalat di hari Selasa 15 Shafar 1019 Hijriyah. Bersyahadatlah Wajo bersama Pammana dan Timurung serta palilinya. Setelah Wajo memeluk Islam, kembalilah Karaeng ri Gowa dan pasukannya ke negerinya.

Tiga bulan setelah kembalinya Karaeng ri Gowa, tiba utusan dari Gowa meminta agar Wajo bersiap menyerang Bone.

Setahun setelah Wajo bersyahadat, maka di seranglah Bone oleh pasukan Gabungan Makassar, Soppeng, Wajo, dan Ajatappareng. Pasukan Makassar Soppeng dan Wajo membuat benteng di Ellu, namun menyimpan benteng pertahanannya di Palette. Pasukan Wajo menyimpan benteng pertahanannya di Cenrana. Pasukan Soppeng menyimpan benteng pertahannya di ajangsalo. Pasukan  Sidenreng dan Ajatappareng menduduki Mampu dan Amali.

Karaeng mengirim utusan menemui Arumpone La Tenriruwa, mengajak agar meninggikan agama Islam. Arumpone kemudian mengumpulkan rakyat Bone dan berkata : "Anaiya mupesonaiya tanae ri Bone, mupasekkori pajung, natanrereangngi deceng Karaengnge, madecengngi tacceppa asellengengnge. Nasaba  iya uluadatta riolo ri Karaengnge iya lolongengnge deceng enrengnge tajang iya mappaita, nasaba makkedai Karaengnge uwasengngi deceng masero tajang mattappaa makkatennie ri agama asellengengnge.Makkeda topi Karaengnge, nakko mutarimai adakku, duwa mua maraja, Gowa muwa na Bone. Tapada makkasiwiyang ri Dewata SeuwaE Puang Allahu Ta'ala. Narekko tennatarimai mennang ada madecetta Karaengnge, natongengiwi natelotopi ta nyompa. Apowaatani' asenna. Narekko tatarimai amadecengenna nawelaiyangngi ada matti, paewani ewammu.Muwaseng amma siya teya mewa. Inampa toni naewa narekko nawelaiyanni uluada".
Terjemahan bebas :
Kalian telah menyerahkan kepadaku tanah Bone, menobatkanku menjadi Raja. Karaeng ri Gowa mengajak pada kebaikan. Baiklah kiranya kita berikrar pada Islam. Sebab perjanjian kita dahulu dengan Karaeng adalah barangsiapa yang menemukan (jalan) kebaikan dan terang, maka dialah yang menunjukkan. Sebab berkata Karaeng ri Gowa, kusebutkan kebaikan paling terang bercahaya adalah berpegang pada agama Islam. Berkata pula Karaeng ri Gowa apabila engkau terima tawaranku, hanya dua yang besar yaitu Gowa dan Bone. Bersama menyembah Dewata SeuwaE Puang Allahu Ta'ala. Apabila tidak kita terima tawaran  baik Karaeng ri Gowa, maka (ia) berada pada kebenaran (memaksa dengan angkat senjata), mengalahkan kita hingga bertekuk lutut. Maka diperbudaklah kita namanya. Apabila kita terima tawaran baiknya, kemudian menghianati kita nantinya, maka melawanlah. Jangan kira saya tidak akan melawannya. Nantilah kita melawan setelah (Karaeng) meninggalkan perjanjian kita.

Akan tetapi rakyat Bone tetap menolak menerima agama Islam. Maka berdiam dirilah Arumpone. Orang Bone mengira Arumpone hendak memperluas lima wilayah kekuasaannya ketika Arumpone memisahkan diri pergi ke Pattiro.

Sesampainya di Pattiro, Arumpone La Tenriruwa memusyawarahkan dengan rakyatnya agar menerima Islam. Namun rakyat Pattiro menolak.

Setelah Arumpone pergi ke Pattiro, orang Bone bermusyawarah dan bersepakat menurunkan Arumpone La Tenriruwa dari tahtanya. Maka dikirimlah utusan bernama To Wallawu menghadap Arumpone di Pattiro.

Berkata To Wallawu kepada Arumpone : "Makkedai To Bone we, tanniyatu Bone teyyaiko, ikonatu pacai Bone ri wettu natujunna bali' tanae ri Bone muwelaiwi"
Terjemahan Bebas :
Berkata orang Bone, bukan Bone yang menolakmu, namun engkaulah yang membuat marah Bone di saat menghadapi masalah engkau meninggalkannya.

Maka menjawablah Arumpone :" O To Wallau, uwelorimuwa to Bone we. ujellokengko deceng tajang, sibawa maeloku renrengko ri decengnge ri tajangnge mu teya. Nae akkatenninno mennang ri nawa nawa mapettangmu, ulaona siyamekna ri tajang naparanyalae Puang SeuwaE agama asellengnge".
Terjemahan bebas :
Wahai To Wallawu, karena kecintaanku pada rakyat Bone, maka kutunjukkan kebaikan terang, dengan keinginanku menuntunmu pada kebaikan terang, namun kalian menolak. Maka berpeganglah kalian pada pikiran gelapmu. Biarlah aku pergi menyatu dengan terang cahaya Tuhan yang Maha Esa yaitu agama Islam.
Maka kembalilah To Wallawu.

Kemudian bersepakatlah orang Bone menurunkan Arumpone La Tenriruwa dari tahtanya. Kemudian bersepakat mengangkat Arung Timurung, yaitu La Tenripale to akkappeyang sebagai Arumpone. Arumpone La Tenripale to Akkappeyang lah yang memimpin rakyat Bone pada bagian akhir pertempuran Musu Selleng.

Mengetahui dirinya diturunkan dari tahta, La Tenriruwa meminta pada Karaeng agar di kawal di Pattiro. Adapun Karaeng ri Gowa mengutus Karaeng Pettung untuk menemani La Tenriruwa. Tidak lama kemudian, dikepunglah La Tenriruwa dan Karaeng Pettung oleh orang Pattiro dan orang SibuluE. Karaeng Pettung mengamuk dan memukul mundur pengepung hingga Maroanging. Pertempuran keenam ini dimenangkan oleh Gowa dan Puwetta La Tenriruwa.

Maka menyeberanglah La Tenriruwa ke Pallette bertemu Karaeng ri Gowa. Sementara Karaeng Pettung menjaga Pattiro.

Karaeng ri Gowa berkata pada MatinroE ri Bantaeng : "Madecennitu bela laomu mai. Iya muwa sa uwakkutanang riko kamo kega anu riyalemu uwerekko, mau temmakkarungko ri Bone mupowanu muwa. Uwissengmuwa mupowanu Bone nae uwangkalingai karebanna leleni arajangnge ri Bone".
Terjemahan bebas :
Baiklah kiranya engkau datang. Adapun yang ingin saya tanyakan kepadamu adalah mana saja negeri milikmu, akan kuberikan, meski tidak lagi menjadi Arumpone, tetap menjadi milikmu. Saya tahu engkau memiliki Bone, tetapi saya telah mendengar kabar telah berpindah arajang (simbol kekuasaan) di Bone.

Berkata MatinroE ri Bantaeng : "Anu riyaleku Karaeng, Palakka, Pattiro, Awampone. Anu riyalena tonasa Awiseku Mario ri Wawo".
Terjemahan bebas :
Kepunyaanku Karaeng adalah Palakka, Pattiro, Awampone. Sedangkan Mario ri Wawo adalah milik istriku.

Berkata Karaeng ri Gowa : "Sahada'no, naiya tonasa tama sahada' sikuae mupuadae Bone ritu teppoatai, Gowa teppoatai".
Terjemahan bebas :
Bersyahadatlah maka bersyahadat pulalah negeri Bone yang engkau sebut, tidak akan diperhambakan dan Gowa tidak memperhambakannya.

Dijawab oleh MatinroE ri Bantaeng, saya telah bersyahadat sebelum kemari. Karaeng ri Gowa berkata bahwa ia mengetahui MatinroE ri Bantaeng adalah penguasa Palette, namun karena Palette adalah tempat benderanya (pintu serangan), maka menjadi miliknya. MatinroE ri Bantaeng memberikan Palette pada Karaeng. Karaeng kemudian memberikan kain ambal beludru merah berkancing emas murni seberat satu ketti.

Diberikan kain mewah dengan emas murni seperti itu, MatinroE ri Bantaeng berkata : "Narekko iyamuwa kusilaongengmu mammusu Karaeng, teawa' malai. 
Terjemahan bebas :
Apabila karena kita bersekutu memerangi (rakyat Bone) Karaeng, saya tidak akan mengambilnya.

Karaeng ri Gowa menjawab : "Muisseng muwa ritu baiseng ade'na  torioloe narekko sitai tauwe massiajing temmakkullei de tanra sele alosi sire' daung ngota silampa"
Terjemahan bebas :
Bukankah engkau tahu wahai besan, adat kebiasaan leluhur kita. bila bertemu sanaknya, tidak bisa tidak saling memberi sepotong pinang dan selembar daun sirih.

Berkata Puwetta La Tenriruwa : "Uwalanitu Karaeng narekko akkoi"
Terjemahan bebas
Jika demikian, saya menerimanya Karaeng.

Maka berikrarlah puwetta La Tenriruwa bersama Karaeng Gowa mula sellengnge dan Karaeng Tallo mula sellengnge : "Tanniyapa wijatta makkarung ri Gowa, makkarung ri Tallo. Teng mupuanu wawai anummu, murigau' bawang ri padangmu tau. narekko engka jaa tujuo, timpaí tange'mu, kiuttama ri jaa mu"
Terjemahan bebas':
Bukanlah keturunan kita yang berkuasa di Gowa di Tallo, tidak memiliki yang bukan milikmu, tidak diperlakukan sewenang wenang sesamamu manusia, apabila ada kesulitanmu maka bukalah pintumu, agar kami masuk membantu kesulitanmu.

Puwetta La Tenriruwa menjawab :  "Karaeng, temmureddu'weseku, temmusesse'balao ri tampukku, tessekke'bilaku. Narekko temmuwelaiyangnga mua janci, namau sibatangmua awo uwempangi lattu ri Gowa, narekko engka jaa mu, nasabbi Dewata SeuwaE"
Terjemahan bebas :
Wahai Karaeng, janganlah engkau mencabut padiku, membedah tikus dalam kandunganku, tidak memadamkan cahaya pelitaku. Apabila engkau tidak meninggalkan janji, maka meski hanya sebatang bambu aku mengangkatnya hingga ke Gowa bila engkau ditimpa masalah, dan dipersaksikan oleh Dewata yang Esa.

Tiga malam setelah perjanjian antara Karaeng ri Gowa Sultan Alauddin dan Puwetta La Tenriruwa, maka dilancarkanlah serangan terakhir pada pertempuran ketujuh. Maka jatuhlah Bone pada hari Rabu tanggal 20 Ramadhan 1020 Hijriyah. Dengan demikian, berakhirlah MUSU SELLENG. Masing masing kembali ke negerinya. Puwetta La Tenriruwa kemudian ke Tallo memperdalam ilmu keislaman pada Datok ri Bandang. Setelah sekian lama, Sultan Alauddin memberi pilihan domisili, Puwetta memilih bermukim di Bantaeng hingga meninggal dan bergelar Petta MatinroE ri Bantaeng.

---------------------------------------------------------------------------

Beberapa hal yang bisa kita tangkap dari tulisan diatas antara lain :
1. Pada dasarnya konsep Keesaan Tuhan telah dipahami oleh orang Bugis di masa lalu. Bahkan telah ada yang memeluk Islam namun belum menjadi agama resmi kerajaan.

2. Penyampaian Islam secara damai oleh Gowa dengan dasar perjanjian dengan kerajaan Bugis namun ditanggapi sebagai manuver politik sehingga perang pun terpaksa pecah.
3. Pindahnya keberpihakan beberapa kerajaan Bugis dalam rangkaian pertempuran karena telah menyadari bahwa Islam sebagai jalan yang terang.
4. Posisi dilema Puwetta La Tenriruwa yang di satu sisi menerima ajakan Gowa pada Islam dan prinsipnya yang mencintai dan membela rakyatnya.
5. Karaeng ri Gowa, Sultan Alauddin tidak menjadikan Musu Selleng sebagai kesempatan untuk memperluas wilayahnya. Bahkan  memenuhi beberapa permintaan raja raja Bugis sepanjang bersedia bersyahadat.

Terakhir, sebagai penutup. Kita doakan dan kirimkan Al Fatihah kepada para pendahulu yang telah berdinamika sesuai konteks dan pilihannya di masa lalu sehingga kita hari ini bisa menikmati Islam dengan damai.

Struktur Kerajaan Wajo dan Wilayahnya

Kerajaan Wajo adalah salah satu kerajaan di Sulawesi Selatan yang eksis hingga era kemerdekaan. Setelah Konfrensi Meja Bundar yang berakibat pada pembubaran RIS, pemerintahan kerajaan menjadi Swapraja yang dikepalai Kepala Pemerintahan Negeri (KPN). Hingga tahun 1957 berubah menjadi Kabupaten.

Berikut ini struktur pemerintahan kerajaan Wajo di masa lalu
1. (1) satu orang Arung Matoa, sebagai kepala pemerintahan

2. (3) tiga orang Paddanreng, sebagai kepala wilayah. Terdiri dari
2.a. Paddanreng Bettempola kepala limpo Majauleng. Merangkap Arung Bettempola sebagai Inanna To WajoE
2.b. Paddanreng Talotenreng kepala limpo Sabbamparu
2.c. Paddanreng Tuwa kepala limpo Takkalalla

3. (3) tiga puluh orang Pabbate Lompo (pemegang panji perang) mendampingi paddanreng tiap limpo
3.a. Pabbate Lompo Pilla untuk limpo Majauleng
3.b. Pabbate Lompo Patola untuk limpo Sabbamparu
3.c. Pabbate Lompo Cakkuridi untuk limpo Takkalalla

4. (30) tiga puluh orang Arung Mabbicara. Terdiri dari 10 orang tiap limpo dengan perincian
4.a Limpo Majauleng. 4 (empat) orang Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo dan 6 (enam) orang Arung Mabbicara yang tidak menguasai limpo disebut Arung Mabbicara Paddoki Roki
- Arung Mabbicara Bettempola
- Arung Mabbicara Ujungkalakkang
- Arung Mabbicara Loa-loa
- Arung Mabbicara Botto
- Arung Mabbicara Paddoki roki (6) orang

4.b. Limpo Sabbamparu. 4 (empat) orang Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo dan 6 (enam) orang Arung Mabbicara yang tidak menguasai limpo disebut Arung Mabbicara Paddoki Roki
- Arung Mabbicara Talotenreng
- Arung Mabbicara Ta
- Arung Mabbicara Palekoreng
- Arung Mabbicara Ciung
- Arung Mabbicara Paddoki roki (6) orang

4.c. Limpo Takkalalla. 4 (empat) orang Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo dan 6 (enam) orang Arung Mabbicara yang tidak menguasai limpo disebut Arung Mabbicara Paddoki Roki
- Arung Mabbicara Aka
- Arung Mabbicara Kampiri
- Arung Mabbicara Menge
- Arung Mabbicara Lempa
- Arung Mabbicara Paddoki roki (6) orang

5. Suro. Yaitu utusan, (3) tiga orang terdiri dari (1) satu orang tiap limpo.

I. Arung Ennengnge. Adalah pejabat utama Wajo terdiri dari (3) tiga orang Paddanreng dan (3) tiga orang Pabbate Lompo
II. Petta i Wajo. Adalah pejabat utama Wajo terdiri dari Arung Ennengnge ditambah Arung Matoa
III. Arung Mabbicara. Adalah semacam majelis atau dewan yang memutus perkara. Terdiri dari 4 (empat) orang kali (3) tiga limpo Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo. Total (12) dua belas Arung Mabbicara yang menguasai wilayah anak limpo.
Dan (6) enam orang tiap limpo Arung Mabbicara yang tidak menguasai wilayah yang disebut Arung Mabbicara Paddoki Roki (6 orang x 3 limpo = 18 orang). Total Arung Mabbicara = (4 x 3) + (6 x 3) sama dengan (30) orang.
IV. Arung PatappuloE. Adalah pejabat yang disebut dalam lontara "paoppang palengengngi tana Wajo". Terdiri dari Petta i Wajo ditambah (30) tiga puluh Arung Mabbicara dan (3) tiga orang Suro

Pejabat Struktural Non Arung PatappuloE
1. Arung Bettempola. Sebagai Inanna To WajoE. Sejak era La Paturusi To Maddualeng di rangkap oleh orang yang sama dengan Ranreng Bettempola. Memiliki kewenangan mengangkat dan memberhentikan Arung Matoa dengan persetujuan Arung PatappuloE.
2. Manciji. Sebagai keprotokuleran.
3. Punggawa Ina Tau. Sebagai Koordinator Arung Lili. Bertugas mengantar Rakyat dan Arung lili menghadap dewan Arung PatappuloE. Berwenang mendorong Arung Bettempola agar segera mengangkat Arung Matoa. Berwenang memobilisasi Arung Lili bila Wajo dalam keadaan perang.
4. Parewa Sara. (Pejabat Agama) bertugas untuk pembinaan dan pemutusan perkara keagamaan serta ritual. terdiri dari
- Qadhi/Kali
- Imam
- Khatib
- Bilal
- Doja
- Amil
Parewa Sara juga terdapat pada beberapa kerajaan bawahan Wajo.

Pengelompokan Wanua
Wanua adalah kerajaan kecil yang menggabung dengan Wajo. Pengelompokannya berdasar kepengikutannya pada Limpo yang dikepalai Paddanreng. Pada awalnya, pembagian distrik berdasar jumlah Limpo yaitu, Majauleng, Sabbamparu dan Takkalalla. Serta ditambahkan Pitumpanua. Selanjutnya tahun 1957 menjadi 10 Kecamatan dan tahun 2003 dimekarkan menjadi 14 Kecamatan.

1. Limpo Majauleng. Kelak menjadi kecamatan Majauleng. Terdiri dari wanua
- Tempe
- Sengkang
- Tancung
- Lowa
- Anabanua
- Gilireng
- Belawa Orai
- Belawa Alau
- Paria
- Rumpia
- Tosora

Dalam perkembangannya berkembang menjadi beberapa kecamatan
Wanua Tempe dan Sengkang menjadi Kecamatan Tempe
Wanua Tancung dan Lowa menjadi Kecamatan Tanasitolo
Wanua Belawa orai dan Belawa alau menjadi Kecamatan Belawa
Wanua Paria, Rumpia dan Tosora tetap menggunakan nama Majauleng

Kepala distrik adalah Ranreng Bettempola. Di masa itu adalah A.Makkaraka Ranreng Bettempola Datu Botto

2. Limpo Sabbamparu. Kelak menjadi kecamatan Sabbamparu dan Pammana. Terdiri dari wanua
- Wage
- Liu
- Ugi
- Pammana

Dalam perkembangannya
Wanua Wage, Liu, Ugi menjadi kecamatan Sabbamparu
Wanua Pammana menjadi kecamatan Pammana

Kepala Distrik adalah Ranreng Talotenreng. Di masa itu adalah A. Makkulawu Ranreng Talotenreng Datu Pattiro

3. Limpo Takkalalla. Kelak menjadi kecamatan Takkalalla, Bola, Sajoanging dan Penrang. Terdiri dari Wanua.
- Akkotengeng
- Penrang
- Peneki
- Bola

Kepala Distrik adalah Ranreng Tuwa. Di masa itu adalah A. Ninnong Ranreng Tuwa Datu Tempe.

4. Wilayah Federasi Pitumpanua. Merupakan wilayah Luwu yang diberikan ke Wajo. Kemudian dikuasai Bone kemudian dikembalikan ke Wajo tahun 1906. Saat ini menjadi kecamatan Pitumpanua dan Kecamatan Keera.

Kepala Distrik adalah putra Ex Arung Matoa Ishak Manggabarani. Yaitu A. Kongkong Dulung Pitumpanua.

Pengelompokan seperti ini terjadi kira kira di masa Arung Matoa A. Mangkona Datu Mario yang menjabat (1933-1949). Namun ada pengelompokan yang sedikit berbeda yang terjadi di masa Arung Matoa sebelumnya yaitu A. Oddangpero Arung Peneki Arung Sengkang Arung Lowa Arung Larompong (1926-1933).

Bettempola
- Sengkang
- Tempe (maniang, manorang)
- Palippu + (Tancung, Bontouse, Labuangpatu)
- Lowa
- Anabanua
- Belawa (orai = waji, wattang, lautang) (alau = macero, menge, timoreng)
- Kalola
- Paselloreng
- Gilireng (Bangko + Arajang)
- Paria (uraiang, lompo, tengnga, laerung, liu, waji, bontodongnga, lagakka)
- Macanang
- Sakkoli
- Walanga
- Rumpia (Uri, Tennga, Lautang, Pao, Sanrangeng, Sarammae)

Talotenreng
- Liu
- Ugi
- Sompe
- Canru
- Wage (orai salo, alau salo, caleko)
- Pammana (Pattemma rilaleng, Wolongeng ri laleng, lagosi)
- Data (mario, taoni, arajang)

Tuwa
- Impa impa
- Empaga
- Penrang
- Doping
- Bola (Lempong, parigi, kading)

Wilayah yang langsung ke pemerintah Wajo (tidak melewati Paddanreng)
- Keera (+ Lalliseng)
- Akkotengeng (totakki, alewadeng, dengengnge, kalosi)
- Peneki (Watampeneki, Bocco, Lagoari, Labuleng, Lamarua, Campi, Labata, Lasetang)

Meski secara umum pembagian wilayah administrasi ini sama, namun ada beberapa perbedaan dan perubahannya kemudian.
Sebagai contoh, Peneki. Sebelumnya diperintah langsung oleh Wajo kemudian dimasukkan dalam distrik Takkalalla yang dikepalai Ranreng Tuwa
Akkotengeng, seperti halnya Peneki.
Data yang pernah masuk wilayah Bettempola kemudian masuk Talotenreng kemudian kembali ke Bettempola dan menjadi bagian kecamatan Tanasitolo
Canru yang disebut sebelumnya kemudian hilang
Penrang yang awalnya menjadi ibu dari Wajo di masa Batara Wajo I La Tenribali kemudian dimasukkan dalam wilayah Takkalalla
Impa impa dan empagae masuk wilayah Tuwa kemudian menjadi bagian kecamatan Tanasitolo yang awalnya merupakan wilayah Bettempola
Keera yang mewakili Pitumpanua

Disini letak kerumitan dari wilayah adat (adat gemenschap) berubah menjadi Kecamatan, dan Desa. Sebenarnya, kontrak panjang (Large Veklaring) yang ditandatangani Arung Matoa La Koro Arung Padali sekitar tahun 1888 bisa dijadikan perbandingan.

Sebagai titik penting perubahan pemerintahan itu sebagai berikut
1888 - Kontrak Panjang antara Pemerintah Wajo dan Kolonial Belanda
1900 - Terpilihnya Ishak Manggabarani sebagai Arung Matoa
1905 - Rumpa'na Bone. Wajo membayar denda perang atas dukungannya pada Bone
1906 - Pengembalian wilayah Pitumpanua (sekarang kecamatan Pitumpanua dan Keera) kepada Wajo
1916 - Pengunduran diri Ishak Manggabarani selaku Arung Matoa
1926 - Terpilihnya A. Oddangpero selaku Arung Matoa
Pembagian wilayah administrasi menjadi 4 distrik dan perubahan tupoksi pejabat adat Wajo
1933 - Wafatnya A. Oddangpero dan terpilihnya A.Mangkona selaku Arung Matoa
Pembagian ulang wilayah administrasi dan tetap 4 distrik
1942 - Datangnya pemerintah Jepang. Tidak melakukan perubahan mendasar hanya mengganti istilah yang digunakan dalam struktur pemerintahan
1945 - Kalahnya Jepang dan kemerdekaan
1946 - Kedatangan tentara NICA, diberlakukan RIS, Kerajaan Wajo menjadi Swapraja.
1949 - Konfrensi Meja Bundar. Bubarnya RIS. Mundurnya A.Mangkona selaku Arung Matoa
1950 - 1957 Swapraja Wajo dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Negeri berturut turut
- A. Pallawarukka Pilla Wajo Datu Pammana
- A. Magga Amirullah Sullewatang Ugi
- A. Pallawarukka Pilla Wajo Datu Pammana
1957 - Swapraja Wajo menjadi Kabupaten Wajo dengan A. Tanjong selaku Bupati pertama. 4 distrik wajo dimekarkan menjadi 10 kecamatan
2003 - Kecamatan Takkallalla dimekarkan menjadi Takkalalla dan Bola. Kecamatan Maniangpajo dimekarkan menjadi maniangpajo dan Gilireng. Kecamatan Sajoanging dimekarkan menjadi Sajoanging dan Penrang. Kecamatan Pitumpanua dimekarkan menjadi Pitumpanua dan Keera. Sehingga terdapat 14 Kecamatan di Kabupaten Wajo

MEMAKNAI KEBANGSAWANAN DI ZAMAN MILENIAL


MEMAKNAI KEBANGSAWANAN DI ZAMAN MILENIAL
Oleh : ARM

Sebagian dari kita masih mewarisi kesadaran tentang pengetahuan silsilah. Meski banyak dari kita tidak tahu silsilah leluhurnya. Kesadaran itu mewujud dalam ruang ruang sosial. Namun satu sisi, masa kerajaan telah lama berlalu. Kita hidup di masa kemerdekaan, dimana prinsip egaliter menyamakan hak dan kewajiban warga Negara. Di lain sisi, kita menyaksikan perubahan zaman terjadi begitu cepat. Perkembangan teknologi informasi sangat mempengaruhi pola interaksi dan kebudayaan kita. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana memaknai kebangsawanan di zaman  milenial. Zaman dimana kita terbatas dengan pengetahuan sejarah dan budaya lokal. Zaman dimana interaksi antara generasi, antar budaya bahkan antar bangsa terjadi begitu massif. Zaman dimana lokalitas dipertanyakan nilai manfaatnya di tengah perkembangan teknologi.
Bahwa manusia terlahir dimuka bumi, sebagai laki laki, sebagai perempuan, dengan membawa suku bangsanya, adalah takdir yang tidak bisa dipilih. Manusia terlahir tanpa memilih apa jenis kelaminnya, siapa orang tuanya, apa sukunya. Sehingga menolak atau mendiskreditkan manusia karena jenis kelaminnya, karena  orang tuanya, karena suku bangsanya, itu sama saja mempersoalkan urusan Tuhan dalam mencipta hambaNya.
Pada titik ini, kita sadari bahwa. Semua manusia sama di hadapan Tuhan. Apakah dia kaya atau miskin, pejabat atau rakyat, bangsawan atau budak, laki laki atau perempuan dan seterusnya, semua sama di hadapan sang Pencipta. Sebagai orang beragama kita pahami bahwa yang lebih baik adalah orang yang bertakwa.
Namun kita tidak dapat sangkali, adanya manusia hebat diantara manusia lain. Yang karena kehebatannya, dia menjadi pemimpin diantara sekalian manusia bahkan sesama ciptaan. Hidupnya ia wakafkan untuk kebaikan manusia lain. Sehingga ia mendapat imbal balik yaitu penghargaan dari sekelilingnya. Oleh masyarakatnya, dia dihargai. Sikap dan prilakunya mencerminkan manusia sejati.
Ia sangat ditinggikan masyarakatnya, namun lahir karena ia rendah hati. Ia sangat dimuliakan masyarakatnya, namun sebelumnya ia memuliakan masyarakatnya. Ia diperlakukan istimewa masyarakatnya, namun ia telah dan selalu menjaga hak hak masyarakatnya. Begitulah kira kira model sikap dan prilaku raja raja dulu.
Manusia terikat hukum ruang dan waktu. Ia akan menua dan perlu digantikan pemimpin baru. Pada titik ini, masyarakat dahulu kala menyederhanakan suksesi kepemimpinan dengan memilih pemimpin baru berdasarkan keturunan dari pemimpin sebelahnya. Dari hal ini berkembang stratifikasi sosial yang sisanya kita bisa saksikan saat ini. Catatan nama nama leluhur di wariskan pada generasi untuk merawat ingatan tentang asal usul.
Orang orang tua kita dulu, telah memikirkan masa depan anak keturunannya. Maka secara berkala diziarahi makam leluhur untuk merawat ingatan itu dan mempersatukan keturunannya. Di wariskan benda benda sebagai simbol pemersatu keturunan. Di wariskan catatan silsilah agar tidak keliru mengingat nama leluhur. Dan yang penting adalah ada pappaseng yang merupakan media pewarisan sifat atau pribadi. Orang tua kita dahulu paham bahwa, boleh jadi kelak anak atau keturunan langsung secara genetik, benda pusaka, dia warisi. Tetapi sifat pun harus diwariskan. Disini adanya pappaseng. Boleh jadi keturunan bangsawan sudah kehilang keris, alameng, tombak pusaka simbol leluhurnya. Boleh jadi nisan leluhurnya sudah hilang. Boleh jadi keturunan bangsawan tidak memasang gelar kebangsawanan macam andi, bau, baso, petta. Tetapi, pastinya ia mewarisi pappaseng dari leluhurnya.
Sebab, keris, alameng tombak pusaka bisa dijual dan dibeli. Gelar andi, baso, bau, petta bisa dipasang dan dihilangkan. Batu nisan kuburan bisa dihilangkan. Tetapi pertanda kebangsawanan sesungguhnya adalah pribadi dan sikap yang bersangkutan.
Sampai titik ini kita dapat mempertanyakan posisi keturunan langsung tetapi sikap dan pribadinya tidak sesuai dengan sikap pribadi leluhurnya. Maka kita dapat melihat kisah anak nabi nuh as. Bahkan anak nabi sekalipun tidak ada jaminan selamat. Apalah kita kita yang cuma cicit dari mantan pejabat kerajaan masa lalu.
Kebangsawanan bukanlah hal yang pantas disombongkan. Apalagi sebagai media untuk merendahkan orang lain. Iblis tergelincir karena menganggap dirinya yang dari api lebih mulia daripada Adam dari tanah. Oleh karena itu, seorang wija arung tidak sepantasnya menyombongkan silsilahnya dan merendahkan orang lain. Baik sesamanya wija arung. Apalagi yang bukan wija arung.
Lantas, apakah kebangsawanan ini perlu dihilangkan. Tentu tidak. Karena peradaban dan kebudayaan kita perlu dikawal dan dijaga oleh mereka yang punya pribadi, sikap dan prilaku bangsawan. Agar proses humanisasi kita di era milenial tidak jatuh pada nihilisme sebagaimana yang terjadi di masyarakat Negara Negara modern. Mereka yang tidak memilih, namun ditakdirkan lahir sebagai wija arung, sebagai bangsawan. Seharusnya memberi kontribusi lebih kepada masyarakat agar arah peradaban kita lebih manusiawi dan lebih beradab. Memberi kontribusi dengan cara, menjadikan diri sebagai “adat yang berjalan”. Agar menjadi cerminan bagi masyarakat bahwa seperti inilah sifat dan sikap wija arung sesungguhnya.
Lantas bagaimana dengan penghormatan? Penghormatan ada dua. Penghormatan yang dilakukan atas dasar kerelaan dan penghormatan yang dilakukan atas dasar keterpaksaan. Boleh jadi wija arung ini dihormati sekelilingnya dengan sapaan Puang, Petta, tetapi setelah ia pergi ia dicemooh masyarakatnya. Lalu disebut “arung bawammi”. Hal ini kadang terjadi pada pribadi “tiang bendera”. Mau dihormati tapi tidak mau menghormati orang lain.  Ada juga bentuk penghormatan atas dasar terpaksa karena adanya jabatan atau kekayaan yang melekat. Karena yang bersangkutan adalah pejabat dan kaya, maka orang orang mendekat dan menghormatinya. Ketika jabatan dan kekayaan hilang, ia tidak dihargai lagi. Orang terpaksa menghormatinya karena jabatan dan hartanya.
Namun ketika wija arung IKHLAS memuliakan sesamanya manusia, maka tanpa ia mengharap ia akan mendapat penghargaan yang IKHLAS. Bahkan tanpa harta dan jabatan pun, ia masih dihargai. Disinilah kita sebagai manusia memilih. Memilih ikhlas menghargai sesama manusia yang pada gilirannya akan kembali ke diri sendiri berupa penghargaan orang lain kepadanya. Atau mengusahakan agar orang lain menghargainya namun tidak mengupayakan pribadi atau sifat bangsawan yang sesungguhnya.


Pesan Puangrimaggalatung untuk Pemutus Perkara (1)

La Tadampare Puangrimaggalatung, adalah raja sekaligus cendekiawan. Diangkat menjadi Arung Matoa Wajo IV (1491-1521) setelah tiga kali menolak jabatan tersebut. Di masa pemerintahannya, Wajo mencapai keemasannya. Wilayah yang sangat luas, rakyat yang sejahtera dan peradilan yang adil.
Ketika menjelang akhir hayatnya, beliau sakit-sakitan dan merasa ajalnya sudah dekat. Maka dipanggillah anaknya yaitu La Tenripakado To Nampe dan La Maddaremmeng To Malu untuk diberi wasiat berupa pesan. Ada banyak pesannya sekaitan pemerintahan dan peradilan. Salah satunya seperti yang dikutip dibawah ini.

Makkedai Puangrimaggalatung : Ia bicarae To Nampe atutui madecengngi, nasaba tessiewa to ribicarae to pabbicarae. Naia sara' assitinajangenna bicarae mupappadapadai ri ninnawammu ri tau mappangewangnge, de mawere' bara' seuwanna, mututuni riolo' wali wali to mappangewangnge, nainappa sabbinna, nainappasi muellau allapparenna. Narekko mattimbang bicarako tutue riolo' mutimbang, nainappa mutimbang tutunna sabbinna, nainappasi mutimbang onronna, nainappasi mutimbang barangkau'na, namupano' paterengngi ininnawa mumapaccing mapaccingpa muita atongengenna enrengnge asalanna mupampaini atongengengna tongengnge, mupampaitoni asalangengna salae.

Berkata Puangrimaggalatung : Adapun peradilan itu (hai) To Nampe, jagalah dengan sebaik-baiknya, sebab tidak boleh berlawanan orang yang diadili dengan pemutus perkara. Adapun syarat kepatutan peradilan ialah memperlakukan sama dalam pertimbanganmu orang-orang yang bersengketa, tidak  ada yang berat pada salah satu pihak, engkau periksa dahulu (meminta keterangan) kedua pihak yang bersengketa, lalu saksi saksi mereka, kemudian engkau minta kelapangan kedua belah pihak. Jika engkau menimbang perkara, keterangan pihak-pihak yang bersengketa engkau timbang, kemudian keterangan saksi saksi engkau timbang, lalu engkau timbang keadaan rumah tangga mereka, dan seterusnya engkau pikirkan dengan semasak-masaknya, agar engkau suci dan akan jelas engkau lihat kebenaran dan kesalahan mereka, maka engkau memberikan kebenaran kepada yang benar, engkau memberikan kesalahan pada yang salah.


Dari pesan Puangrimaggalatung diatas dapat dipahami betapa ditekankan keadilan bagi hakim. Hal ini tertuang dengan kalimat : "tessiewa to ribicarae to pabbicarae". Seorang pemutus perkara atau hakim hendaknya tidak punya latar belakang persoalan dengan pihak yang bersengketa. Sebab akan sangat mempengaruhi sikapnya dalam menimbang dan mengambil keputusan.

Selanjutnya adalah perlakuan yang sama terhadap kedua pihak dengan memberikan kesempatan keduanya untuk memberi keterangan. Penyebab bubarnya kerajaan Cinnotabi dan berdirinya Wajo adalah peradilan yang tidak adil. Dimana hanya satu pihak yang didengar keterangannya dan dibenarkan tanpa pemeriksaan. Sementara pihak yang lain tiidak diberi kesempatan yang sama. Hal ini diistilahkan dengan "Ri Rempekeng Bicara" yaitu dijatuhi putusan tanpa peradilan.


Saksi kedua pihak pun diberi kesempatan yang sama untuk memberi kesaksian agar memberi informasi tambahan bagi pemutus perkara (hakim). Adapun yang menarik dengan peradilan masa lalu di Wajo berdasar pesan Puangrimaggalatung ini adalah dimasukkannya keadaan rumah tangga sebagai variabel dalam pertimbangan.

Hal ini dapat dimaklumi sebab jumlah populasi penduduk dimasa lalu belum sepadat sekarang. Sistem sosial yang masih mengutamakan sistem kekeluargaan sehingga pengaruh "appang" atau "anang" sebagai kepala rumpun keluarga (klan) masih dominan, belum secair sekarang. Selain itu dipahami pula bahwa keluarga sangat mempengaruhi pribadi, karakter dan sikap seseorang. Sehingga dapat memberi informasi tambahan sekaitan kasus yang diperiksa oleh hakim/pemutus perkara.

Terakhir disebutkan "namupano' paterengngi ininnawa mumapaccing mapaccingpa muita atongengenna enrengnge asalanna mupampaini atongengengna tongengnge, mupampaitoni asalangengna salae" bahwa seorang pemutus perkara/hakim harus melihat dengan jernih persoalan sebelum mengambil putusan. Agar ia suci. Sebab dalam mengambil putusan mestilah suci (termasuk dari berbagai kepentingan) agar ia bertindak adil.

Nisan La Tadampare Puangrimaggalatung di Desa Tosora Kab. Wajo